Laju kerusakan
lingkungan pulau-pulau di Indonesia mencapai 1,1 juta hektare setiap tahunnya.
Terbesar terjadi di sejumlah kawasan hutan lindung dan konservasi karena
aktifitas perambahan dan pertambangan batu bara. Teparah terjadi di Pulau Jawa
dengan indek kerusakan lingkungan hidup mencapai 53,5 persen. Kerusakan
lingkungan ini yang menjadi penyebab utama peningkatan bencana alam banjir dan
tanah longsor di sejumlah kota/kabupaten di Jawa.
Laju
rehalibilitasi hanya 0,5 juta hektare
setiap tahunnya sehingga tingkat perbaikan lingkungan tidak mampu mengejar
kerusakan hutan. Ironinya adalah kehancuran ekologi sejumlah kawasan di Tanah
Air adalah karena eksploitasi Hutan, pesisir, dan daerah aliran sungai yang
dieksploitasi habis-habisan. Menurut FAO, Indonesia termasuk negara perusak
hutan terbesar di dunia dengan laju kerusakan 2% atau 1,87 juta hektare (ha)
per tahun yang berarti setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51 km
persegi. WWF dan Greenpeace menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi
pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta ha per hari di Kalimantan, Papua,
dan Sumatera.
Total luas hutan
di Indonesia sebesar 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau 26 juta hektar telah dijarah dan musnah.
Deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri,
penyalahgunakan HPH dan pembalakan liar (penebangan hutan mencapai 40 juta m3/
setahun), dan pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan/ perumahan.Bertolak
belakang dengan penegakan hukum yang tumpul, 47 perusahaan hitam
belum dikenai sanksi apapun.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini
akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang
kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank
antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang
berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World Bank mengakui bahwa taksiran
laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut FAO,
menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun
atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%).
Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000
– 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh
Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun
yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju
kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun
.
Lahan Sawit.
Perambahan hutan
yang tak terkendali untuk perkebunan sawit dituding sebagai penyebab nomor satu
deforestasi. Pemerintah daerah dengan gampangnya memberikan konsesi sawit ke
para pengusaha. Akibatnya deforestasi Indonesia tidak terbendung lagi.
Mengapa tanaman
ini sangat dimusuhi oleh para aktivis lingkungan hidup dan dijuluki tanaman bengis? Salah satu alasan utama yang tidak diketahui orang
banyak adalah fakta bahwa sawit sangat rakus air. Sawit menyedot air
dalam jumlah yang sangat besar hingga ke dalam tanah. Ketika 1 wilayah sudah
dijadikan perkebunan sawit, maka wilayah tersebut sangat sulit untuk ditanami
kembali oleh tanaman lain. Tanah yang sudah ditanami oleh kelapa sawit menjadi
kehilangan unsur hara sehingga ekosistem
di sekitarnya menjadi rusak dan tak seimbang lagi. Selain hal ini, timbul
banyak masalah turunan lain dari komoditas nomor 1 di Indonesia ini.
Perkebunan sawit
tidak pantas disebut hutan. Biar bagaimana pun ekosistem yang heterogen tidak
mungkin bisa digantikan dengan ekosistem yang homogen. Berdasarkan data
Kementerian Kehutanan, kerugian negara
akibat kerusakan hutan mencapai Rp 180 triliun. Apakah 180 triliun ini
sebanding dengan ekspor sawit kita? Tentu tidak. Uang bisa dicari namun hutan
yang hilang serta satwa yang punah tidak mungkin bisa dikembalikan lagi. Sesal
kemudian tidak berguna.
Orang Utan Dianggap Hama Sawit
Selamat datang
perkebunan sawit, selamat tinggal orang utan! Itulah harga yang harus dibayar
untuk industri sawit ini. Perluasan lahan sawit mau tidak mau merusak habitat
orang utan, beruang dan harimau. Tidak tanggung-tanggung, orang utan bisa
tiba-tiba masuk ke rumah penduduk untuk mencuri nasi. Hal ini mereka lakukan
karena memang sudah tidak ada makanan lagi karena hutan mereka sudah dirusak.
Beruang dan
harimau juga sudah kehilanggan tempat tinggalnya, akhirnya penduduk sipil
merasa jiwanya terancam dari hari ke hari. Orang utan pun dibantai secara keji
atas perintah para pengusaha sawit. Satu
ekor orang utan dihargai 500 ribu sampai 1 juta rupiah oleh pengusaha sawit.
Padahal tidak ada maksud orang utan dan satwa liar lainnya mengganggu
perkebunan sawit serta rumah penduduk. Hal ini mereka lakukan karena mereka
tidak memiliki pilihan lain. Manusia telah menjadi monster bagi alam, tahun
2011 saja Washington Post mencatat 750 orang utan terbunuh di Kalimantan.
Padahal orang utan adalah satwa endemik Indonesia dan satu-satunya habitat asli
mereka adalah Indonesia.
Bank Dunia
sendiri sangat serius menanggapi isu deforestasi Indonesia. Bank Dunia sempat
menghentikan pendanaan bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit pada September
2009 akibat perusakan lingkungan yang sangat parah di hutan Sumatra dan
Kalimantan. Lembaga swadaya internasional Greenpeace dan World Wildlife
Foundation (WWF) juga ikut menyerang industri kelapa sawit dengan menyebut Palm
oil: enemy number one of Indonesias tropical
rainforests.
50% Lahan Sawit Indonesia Dikuasai Asing
Untuk siapakah
sawit Indonesia? Walhi mencatat bahwa saat ini 50% lahan sawit Indonesia telah
dikuasai asing dengan Malaysia sebagai pemiliki mayoritas, sebesar 26%.
Konglomerasi Malaysia, Sime Darby (perusahaan sawit terbesar di dunia), sampai
saat ini sudah mengantongi konsesi sawit sekitar 300.000 hektar melalui Minamas
Plantation. Dengan dukungan modal yang kuat serta teknologi yang lebih canggih
akibatnya banyak perusahaan sawit Indonesia yang tidak bisa bersaing. Jadi
sudah jelas bahwa keuntungan bisnis sawit Indonesia justru banyak dinikmati
oleh asing. Dengan kepemilikan asing sebesar 50%, kondisi Indonesia sekarang
jauh lebih parah daripada masa tanam paksa (cultuurstelsel) penjajahan Hindia
Belanda, yang hanya mewajibkan 20% lahan petani untuk ditanami tanaman
perdagangan. Bukankah ini sangat tragis? Tanah Indonesia hanya dijadikan sapi
perahan dan disedot habis-habisan air tanahnya demi perkebunan sawit.
Kasus Mesuji - Pembantaian 30 Warga oleh Perusahaan Sawit
Pantaslah jika
bisnis sawit disebut sebagai bisnis paling kontroversial di Indonesia. Inilah
satu-satunya bisnis di Indonesia yang dibangun di atas tangisan, darah dan air
mata rakyat kecil! Tidak hanya orang utan yang dibantai demi bisnis sawit, tapi
juga termasuk manusia! Pembantaian dan kekerasan sadis di Lampung tega
dilakukan oleh PT Silva Inhutani, milik warga negara Malaysia bernama Benny
Sutanto alias Abeng, demi melakukan perluasan lahan sawit. Penduduk setempat
yang tadinya menanam sengon dan albasia menolak keras ekspansi lahan perusahaan
ini. Akhirnya PT Silva Inhutani membentuk PAM Swakarsa yang juga dibekingi
aparat kepolisian untuk mengusir penduduk. Pasca adanya PAM Swakarsa terjadilah
beberapa pembantaian sadis dari tahun 2009 hingga 2011. Kurang lebih 30 orang
sudah menjadi korban pembantaian sadis dengan cara ditembak, disembelih dan
disayat-sayat. Sementara ratusan orang mengalami luka-luka dan diantara mereka
ada yang mengalami trauma dan stres berat. Kesadisan yang dilakukan atas nama
bisnis sawit ini mengingatkan kita kembali pada film G30S/PKI. Ironisnya,
aparat kepolisian kita yang seharusnya bisa melindungi dan mengayomi
kepentingan masyarakat sipil justru mau menjadi kaki tangan pengusaha Malaysia.
Belum cukupkah
semua ini?
Sumber: