Senin, 06 Mei 2013

Analisa Dee- Jembatan Zaman


Jembatan zaman

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya, pohon besar tumbuh mendekat langit dan menjauhi tanah. Ia merasa telah melihat segalanya dari ketinggiannya. Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah waktu masih kerdil dulu? Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagikan kereta raksasa dan tetesan embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik.
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya. Kawanan kelelawar menggantungi buahnya. Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya mengeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi.
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu.
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang di gejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh keatas tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak jauh ke samping. Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani.
Jembatan yang rendah hati bukan kesombongan diri.

Analisa:
Tulisan diatas memiliki bahasa yang sederhana, majas yang tidak begitu sulit untuk diartikan pembaca. Prosa tersebut mengisahkan sebuah perjalanan hidup yang selalu tumbuh menua. Dalam prosesnya semua berubah, dan tidak semua yang menua akan mengerti arti dari kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar