Minggu, 22 Juni 2014

Akuntansi forensik



Revolusi Industri salah satu pendorong terjadinya skandal keuangan dalam bidang ekonomi dan inovasi teknologi, hal ini mengakibatkan pentingnya pendidikan akuntansi forensik. Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi banyak frauds dan skandal keuangan, yang adalah tonggak sejarah dengan signifikan. Sebagai contoh, di tahun 1970-an, Skandal Ekuitas Dana yang terbongkar. Penipuan ini adalah karena ia adalah salah satu skandal keuangan yang mana komputer digunakan untuk membantu dalam sebuah perpetrating penipuan.

                Skandal terbaru selain diatas adalah Bernard L. Madoff Investment Securities LLC, yang didirikan pada tahun 1960, merupakan perusahaan investasi terbesar ke-23 di bursa Nasdaq New York. Beberapa klien terkenalnya adalah sutradara Steven Spielberg, HSBC Holdings PLC, BNP Paribas, bahkan juga Royal Bank of Scotland (RBS) Group PLC yang menanamkan sekitar 600 juta dolar AS!.Uniknya, salah satu nilai jual perusahaan Madoff bukan karena menjanjikan keuntungan berlipat ganda secara cepat sebagaimana biasanya model Ponzi Scheme, melainkan menjanjikan keuntungan tetap 10% yang diberikan secara konsisten, baik di masa ekonomi booming, stabil, maupun krisis.

Penipuan terbesar ini terbongkar pada awalnya karena ada klien yang akan mencairkan investasi sebesar 7 milyar dolar AS. Madoff merasa tertekan dan akhirnya mengatakan ke beberapa karyawannya bahwa apa yang dikerjakannya selama ini adalah “basically, a giant Ponzi scheme”. Dari dana investor sebesar 50 milyar dolar AS, cuma tinggal 200-300 juta dolar AS yang akhirnya tersisa dan tadinya mau dibagikan oleh Madoff ke beberapa karyawan, keluarga, dan temannya sebelum dia menyerahkan diri.

Besar respon terhadap terjadi penipuan ini di profesi akuntansi dan audit di persyaratan standar, seminar, dan artikel pada subyek Badan Pengelola Data Elektronik (KPDE) audit (Singleton 1993). Skandal di awal tahun 1980-an menyebabkan penciptaan sebuah komite investigasi, Komisi Nasional penipuan Laporan Keuangan, yang umum disebut sebagai Komisi Treadway, dan kemudian dikenal sebagai Komite Sponsoring Organizations (COSO), 2 grup dari lima organisasi profesi yang disponsori upaya kelompok pada tahun 1985. Komisi's Tujuannya adalah untuk mengembangkan beberapa rekomendasi untuk meredakan jenis skandal ini. Mereka berfokus pada kesimpulan yang lebih kuat internal, dan COSO mengembangkan model kontrol internal. Telah menjadi model sangat tertanam dalam audit profesi: Pernyataan tentang Standar Auditing (SAS) No 78, Perusahaan Akuntan Publik Oversight Board (PCAOB) Standar Auditing No 5 (AS5, superseding AS2), SAS No 109, dan model COSO dari penerimaan pada umumnya.

Satu alasan utama model ini adalah signifikan karena hal ini merupakan hasil dari frauds, itu dianggap sebagai sebuah cara batang untuk mereka, dan telah diterima umum selama dua dekade sebagai terbaik praktek dalam laporan keuangan. Hal ini juga penting karena penipuan segitiga (Cressey 1973) menunjukkan bahwa kegiatan yang paling efektif untuk mencegah atau mendeteksi penipuan harus difokuskan kesempatan, yang memiliki ikatan yang kuat untuk kontrol (Singleton et al. 2006). Frauds penting lainnya yang menarik termasuk Jawaban, Phar-Mor (1992), Cendant (1998), Waste Management (1998), sinar matahari (2002), Parmalat (2003), bersama dengan host orang lain.

Menurut skandal keuangan, 3 daftar panjang mencapai massa kritis pada tahun 2002 di Amerika Serikat Frauds keuangan mungkin tidak mempunyai dampak yang lebih besar pada akuntansi dan audit dari Enron dan WorldCom. Frauds ini menyebabkan petikan dari Sarbanes-Oxley Act pada bulan Juli 2002, dan pengaturan baru tubuh federal dan badan standar keuangan, Perusahaan Umum Accounting Oversight Board (PCAOB). Ia juga merupakan dorongan untuk American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) adopsi dari SAS No 99, Pertimbangan Penipuan dalam Laporan Keuangan Audit. Tetapi mungkin dampak besar dan Enron WorldCom telah meningkat signifikan dalam fokus dan kesadaran yang berkaitan dengan penipuan (Singleton 2007b).
Terdapat lebih banyak seminar, buku, dan jurnal tentang penipuan dibandingkan sebelumnya, dan lebih diskusi tentang penipuan dan penipuan yang terkait dengan aktivitas di akademik, politik, dunia usaha praktisi auditor dan masyarakat pada umumnya. Apa yang sangat jitu adalah peran teknologi dan digital data diputar di kedua perpetrating frauds ini dan dalam mendeteksi kegiatan yang palsu. Oleh karena itu, pemahaman tentang digital alat dan teknik nampaknya perlu untuk menghindari mengulangi perbuatan penipuan ini. Audit keuangan dan Fraud Audit sebagai alternatif Penipuan Deteksi Methodologies Meskipun banyak perubahan dalam proses audit keuangan ada stemmed keuangan dari penipuan atau manipulasi, dan sejarah yang berhubungan dengan penelitian berulang kali menunjukkan bahwa audit keuangan cukup tidak dapat diandalkan untuk mendeteksi penipuan signifikan pada setiap tingkat.

The Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) melakukan penelitian tentang penipuan dan memberikan laporan hasil biennially berjudul Laporan kepada Bangsa (RTTN). Statistik dalam laporan (ACFE 2002, 2004, 2006) secara konsisten menyatakan bahwa sekitar 10-12 persen dari semua terdeteksi frauds yang ditemukan oleh auditor keuangan (11,5 persen, 10,9 persen, dan 12,0 persen, masing-masing). Penipuan di KPMG Survey (KPMG 1994, 1998, 2003) laporan secara konsisten lebih rendah tetapi sebetulnya serupa tingkat deteksi (5 persen, 4 persen, dan 12 persen, masing-masing).

Perkembangan terakhir dunia akuntansi menyebutkan pentingnya usaha untuk mendorong keyakinan investor dan kepercayaan publik terhadap laporan keuangan. Skandal-skandal keuangan (Enron, WorldCom, Global Crossing, Qwest, Parmalat) telah meruntuhkan kepercayaan investor dan membuat akuntansi forensik menjadi peluang karir yang menarik bagi para akuntan untuk digunakan sebagai alat penanggulangan tindak penipuan.
kasus korupsi dan skandal-skandal keuangan di Indonesia seakan tidak pernah ada habisnya. Seperti Skandal' Bank Bali (BB) memperlihatkan gejala baru yang mencemaskan, yaitu penyelewengan kekuasaan yang menghasilkan korupsi dan kejahatan kerah putih. Ini dilakukan dengan memanfaatkan praktek-praktek rekayasa lalu lintas finansial, dengan mempergunakan lembaga perbankan sebagai institusi mediasinya. Pembedahan terhadap kasus ini akan berhadapan dengan kompleksitas tertutupnya wilayah perbankan yang memang dilindungi undang-undang. Padahal, anasir-anasir pelaku korupsi justru menggunakan perbankan semata-mata untuk menghilangkan jejak kejahatannya.

Salah satu dari sekian kasus di negeri ini yang hingga kini tak kunjung selesai adalah skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Bahkan, skandal keuangan terbesar itu kini terus "memunculkan" kasus korupsi "baru" serta memakan "korban" baru. Penyelesaian BLBI seperti korupsi "nan tak kunjung padam". Satu per satu, "korban" berjatuhan sejak tahun 2000, tetapi pertanggungjawaban penggunaan uang negara itu tak pernah jelas. Dari semula hanya tiga mantan anggota Direksi Bank Indonesia (BI), Hendrobudiyanto, Heru Soepraptomo, dan Paul Sutopo, kini semakin bertambah. Memang, paling banyak yang diduga menilep BLBI itu adalah bankir.
Menyusul bankir adalah mantan pejabat dan pegawai Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang mengurusi aset jaminan penerima BLBI. Bisa juga suatu saat aparat penegak hukum terseret jadi "korban" baru. Yang terbaru muncul tahun 2007 adalah kasus aliran dana BI untuk bantuan hukum pada mantan pimpinan BI dan Komisi IX DPR senilai Rp 100 miliar. Sebagian dana yang disalurkan BI itu juga bagian dari meningkatkan citra BI akibat kasus BLBI yang menghancurkan nama baik bank sentral tersebut. Lalu, muncul kasus penjualan aset eks BLBI, yaitu PT Timor Putera Nasional, yang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya tak boleh dilakukan perusahaan terafiliasinya. Kenyataannya, aset yang diserahkan ke BPPN sebagai jaminan pengembalian BLBI dibeli kembali.

Kasus lain yang tak kalah hebohnya adalah kasus pembongkaran korupsi Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tahun 2005 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus ini mencuatkan Khairinsyah Salman sebagai salah seorang contoh whistleblower (peniup peluit). Masih pada tahun yang sama, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mampu membuktikan kepada pengadilan bahwa Adrian Waworuntu terlibat dalam penggelapan L/C BNI senilai Rp 1.3 Triliun, dengan menggunakan metode follow the money yang mirip dengan metode PwC dalam kasus Bank Bali.
Pemberantasan korupsi yang telah dilakukan selama ini seperti tebang bambu, tebang satu tumbuh seribu. Efek jera yang diharapkan timbul dari terpenjaranya satu dua pelaku koruptor besar ternyata tidak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan karena pemerintah pilih-pilih dalam menangani kasus korupsi. Apalagi seperti kita tahu penegakkan hukum di Indonesia tidak bebas dari permainan uang dan pengaruh kekuasaan. Banyak kasus korupsi yang telah diputus bersalah di tingkat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi tiba-tiba bebas di tingkat Kasasi Mahkamah Agung. Pertanyaan yang bisa kita ajukan adalah benarkah pemberantasan korupsi di Indonesia masih jalan di tempat?
Usaha pemberantasan korupsi di Indonesia sedikit demi sedikit telah memperbaiki citra Indonesia. Indeks persepsi korupsi (CPI) yang dikeluarkan oleh Transparency International menunjukkan bahwa telah terjadi perbaikan signifikan selama kurun waktu 1998 – 2005 dimana skor CPI Indonesia meningkat dari 2.0 menjadi 2.21. Ini berarti Indonesia telah menempuh setengah jalan untuk menjadi negara yang kondusif untuk pemberantasan korupsi (skor CPI 5.0).
Persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia juga telah menunjukkan peningkatan dalam perbaikan. Menurut survei yang dilakukan Litbang Kompas, opini negatif tentang kinerja hakim dan jaksa dalam pemberantasan KKN telah menurun sebesar 6% dan 8% dalam kurun Maret 2003 – Mei 2006, sedangkan citra positif penegak hukum dalam pemberantasan KKN meningkat rata-rata sebesar 16% selama kurun waktu yang sama (Kompas tanggal 21 Mei 2006 hal. 4). Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga mengungkapkan bahwa persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi selama bulan Juli s/d Desember 2005 masih cukup tinggi, yaitu diatas 60%, walau menunjukkan tren menurun2. Kesimpulan yang bisa kita petik dari data-data diatas adalah ada titik terang dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Data-data tersebut menunjukkan hal yang berbeda dari anggapan beberapa orang yang selalu pesimis dengan kemajuan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Akuntansi forensik akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang pesat dan semakin mendapatkan perhatian dari kalangan akademisi maupun praktisi (Accounting Web 2002): pada tanggal 2 April 2002, ABC News menyajikan acara serial TV baru berjudul "Fraud Squad". Acara ini menyajikan kegiatan bidang akuntansi forensik; US News and World Report, pada tanggal 8 Pebruari 2002 menyebutkan bahwa akuntansi forensik merupakan satu dari delapan peluang karir yang paling aman untuk beberapa tahun ke depan; banyak perguruan tinggi yang saat ini menawarkan mata kuliah atau jurusan akuntansi forensik sebagai salah satu jurusan pendidikan mereka; terdapat sejumlah organisasi dan asosiasi profesi yang mengkampanyekan pemeriksaan penipuan dan akuntansi forensik; dan tiga dari enam bidang pelayanan terbaik akuntansi menyertakan akuntansi forensik ke dalam programnya: evaluasi bisnis, dukungan litigasi, dan forensik/penipuan (Covaleski 2003). Saat ini, terdapat peluang antara praktek dan pendidikan akuntansi forensik dalam hal tertentu, bahwa akuntansi forensik dianggap sebagai salah satu peluang karir yang paling aman, namun program akuntansi yang memuat jurusan pendidikan akuntansi forensik ini masih terbatas sekali jumlahnya.
Perkembangan Istilah akuntansi forensik di Indonesia setelah Pricewaterhouse Coopers (PwC) menunjukan keberhasilan dalam membongkar kasus Bank Bali. PwC dengan mengunakan software khusus yang mampu memperlihatkan arus dana yang rumit berbentuk seperti diagram cahaya yang mencuat dari matahari (sunburst). Kemudian PwC menyimpukan menjadi arus dana dari orang-orang tertentu. Namun demikian, keberhasilan ini tidak diikuti dengan keberhasilan sistem pengadilan. Nama Metode yang digunakan dalam audit tersebut adalah follow the money atau mengikuti aliran uang hasil korupsi Bank Bali dan in depth interview yang kemudian mengarahkan kepada para pejabat dan pengusaha yang terlibat dalam kasus ini.
Perkembangan teknik akuntansi forensik di luar negeri telah lama berkembang, yang mana disiplin ilmu ini memfokuskan pada penyelidiki kasus-kasus kejahatan yang melibatkan aspek-aspek finansial yang kompleks. Hal ini sama persis seperti kedokteran forensik yang merupakan aplikasi ilmu kedokteran untuk menemukan bukti-bukti kejahatan, teknik akuntansi forensik pun menerapkan teknik-teknik akuntansi untuk menemukan bukti-bukti finansial yang mendukung tindakan kejahatan. Dengan hal demikian profesi ini punya posisi yang unik untuk mengungkapkan aspek finansial yang berkaitan langsung dengan dugaan terhadap kecurangan yang dilakukan. Akuntan forensik dapat mengenali dan melakukan analisis mendalam atas transaksi finansial yang rumit dan canggih yang digunakan oleh pelaku kejahatan untuk menutupi jejak tindakannya.
Dengan kecanggihan teknologi informasi, jejak transaksi yang terjadi dapat disamarkan atau bahkan dihapus (cover up) sehingga kejahatan itu menjadi sangat sulit untuk diungkapkan. Audit khusus investigatif biasanya tidak hanya dilakukan oleh akuntan, tetapi juga didukung oleh profesi lain seperti ahli hukum (lawyer) dan mantan polisi penyidik (investigator). Audit khusus dapat dilakukan sebagai bagian dari proses penyelidikan pidana oleh polisi atau jaksa. Dengan demikian, hasil audit khusus dapat bermanfaat apabila temuan tersebut ditindaklanjuti dengan proses hukum yang tegas oleh polisi atau jaksa.
Rezaee (2002), mengungkapkan definisi Akuntansi forensik sebagai praktek pengumpulan data sebanyak mungkin dan analisis bidang-bidang dukungan litigasi dengan cara konsultasi para ahli yang terlibat di dalam pemeriksaan tindak penipuan. Data yang ada pun masih terbatas, dan tidak ada cukup bukti setelah kasus Enron, Andersen, dan skandal-skandal keuangan lainnya yang memuat opini tentang pendidikan akuntansi forensik ke dalam kurikulum-kurikulum akuntansi dan khususnya kesesuaian antara tindakan-tindakan akademisi dan kebutuhan praktisi untuk mendapatkan akuntan forensik yang terampil dan cerdas.
Hal ini memuat opini-opini dari akademisi dan praktisi tentang manfaat/fungsi, relevansi, dan penyelenggaraan pendidikan akuntansi forensik. Untuk membantu desain kurikulum akuntansi forensik, penelitian ini menghimpun pandangan yang dikemukakan oleh kalangan akademisi (fakultas akuntansi) maupun praktisi (akuntan publik bersertifikat, CPA) tentang: (1) tuntutan dan minat terhadap pendidikan akuntansi forensik; (2) relevansi pendidikan akuntansi forensik; dan (3) mengenali nilai dari input-input praktisi pada saat membuat muatan program, karena pandangan dan pendapat mereka dapat mendukung relevansi program dan memperjelas marketability lulusan program pendidikan akuntansi forensik. Pandangan dan opini dari akademisi dan praktisi sangat bermanfaat bagi perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akuntansi forensik.
Hasil pengamatan sebagai berikut: sebagian besar responden (akademisi dan praktisi) mengharapkan bahwa tuntutan dan minat terhadap akuntansi forensik semakin bertambah pada masa yang akan datang; semakin banyak program yang menyertakan pendidikan akuntansi forensik; kedua kelompok responden ini menganggap pendidikan akuntansi forensik relevan dan menguntungkan bagi mahasiswa, profesi akuntan, dan masyarakat bisnis; serta (4) hanya ada sedikit perbedaan opini antara akademisi dan praktisi tentang penyelenggaraan dan muatan topik pendidikan akuntansi forensik.
Hasil ini memiliki implikasi kepentingan publik dengan landasan bahwa: masyarakat bisnis dan profesi akuntansi sangat peduli dengan skandal keuangan dan akuntansi yang dilaporkan; tuntutan terhadap praktek-praktek akuntansi forensik di dalam mengembalikan keyakinan investor terhadap laporan keuangan yang sempat luntur; dan kebutuhan akan pemeriksaan ulang muatan, cakupan dan penyelenggaraan pendidikan akuntansi forensik setelah terjadinya skandal pada perusahaan Enron dan skandal-skandal keuangan lainnya termasuk dengan skandal-skandal keuangan yang terjadi di indonesia.

Mengapa perlu Akuntansi Forensik?
Mencoba menguak adanya kasus korupsi dengan audit biasa sama halnya mencoba menebang pohon dengan pisau dapur. Akuntan perlu alat yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan lainnya di sebuah perusahaan atau instansi negara. Akuntan forensik bisa menjadi alat yang tepat untuk keperluan tersebut.

Sejarah dan Pengertian
Akuntansi forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap motive pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi.
Forensik, menurut Merriam Webster’s Collegiate Dictionary (edisi ke 10) dapat diartikan ‘berkenaan dengan pengadilan’ atau ‘berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum’. Oleh karena itu akuntasi forensik dapat diartikan penggunaaan ilmu akuntansi untuk kepentingan hukum.
Menurut D. Larry Crumbley, editor-in-chief dari Journal of Forensic Accounting (JFA), mengatakan ‘secara sederhana dapat dikatakan, akuntansi forensic adalah akuntansi yang akurat (cocok) untuk tujuan hukum. Artinya, akuntansi yang dapat bertahan dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan judicial atau administrative”.
Profesi ini sebenarnya telah disebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 ayat (1) menyatakan:”Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan’. Orang sudah mahfum profesi dokter yang disebut dalam peraturan diatas yang dikenal dengan sebutan dokter ahli forensik, namun ‘ahli lainnya’ yang dalam ini termasuk juga akuntan belum banyak dikenal sebutannya sebagai akuntan forensik.
Disamping tugas akuntan forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation) ada juga peran akuntan forensik dalam bidang hukum diluar pengadilan (non litigation) misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengekta, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan/pelanggaran kontrak.

Penerapan Akuntansi Forensik di Indonesia
Bulan Oktober 1997 Indonesia telah menjajagi kemungkinan untuk meminjam dana dari IMF dan World Bank untuk menangani krisis keuangan yang semakin parah. Sebagai prasayarat pemberian bantuan, IMF dan World Bank mengharuskan adanya proses Agreed Upon Due Dilligence (ADDP) yang dikerjakan oleh akuntan asing dibantu beberapa akuntan Indonesia.
Temuan ADDP ini sangat mengejutkan karena dari sampel 6 Bank Besar di Indonesia menunjukkan perbankan kita melakuan overstatement asset sebesar 28%-75% dan understatement kewajiban sebesar 3%-33%. Temuan ini segera membuat panik pasar dan pemerintah yang berujung pada likuidasi 16 bank swasta. Likuidasi tersebut kemudian diingat menjadi langkah yang buruk karena menyebabkan adanya rush dana tabungan dan deposito di bank-bank swasta karena hancurnya kepercayaan publik pada pembukuan perbankan. ADPP tersebut tidak lain dari penerapan akuntansi forensik atau audit investigatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar