Sabtu, 08 Desember 2012

selamatkan dia.


Laju kerusakan lingkungan pulau-pulau di Indonesia mencapai 1,1 juta hektare setiap tahunnya. Terbesar terjadi di sejumlah kawasan hutan lindung dan konservasi karena aktifitas perambahan dan pertambangan batu bara. Teparah terjadi di Pulau Jawa dengan indek kerusakan lingkungan hidup mencapai 53,5 persen. Kerusakan lingkungan ini yang menjadi penyebab utama peningkatan bencana alam banjir dan tanah longsor di sejumlah kota/kabupaten di Jawa.

Laju rehalibilitasi  hanya 0,5 juta hektare setiap tahunnya sehingga tingkat perbaikan lingkungan tidak mampu mengejar kerusakan hutan. Ironinya adalah kehancuran ekologi sejumlah kawasan di Tanah Air adalah karena eksploitasi Hutan, pesisir, dan daerah aliran sungai yang dieksploitasi habis-habisan. Menurut FAO, Indonesia termasuk negara perusak hutan terbesar di dunia dengan laju kerusakan 2% atau 1,87 juta hektare (ha) per tahun yang berarti setiap hari terjadi kerusakan hutan seluas 51 km persegi. WWF dan  Greenpeace  menempatkan Indonesia di peringkat tertinggi pembabatan hutan dunia dengan rekor 1,6 juta ha per hari di Kalimantan, Papua, dan Sumatera.
Total luas hutan di Indonesia sebesar 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau  26 juta hektar telah dijarah dan musnah. Deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, penyalahgunakan HPH dan pembalakan liar (penebangan hutan mencapai 40 juta m3/ setahun), dan pengalihan fungsi hutan menjadi perkebunan/ perumahan.Bertolak belakang dengan penegakan hukum yang tumpul, 47 perusahaan hitam belum dikenai sanksi apapun.
Data kerusakan hutan di Indonesia masih simpang siur, ini akibat perbedaan persepsi dan kepentingan dalam mengungkapkan data tentang kerusakan hutan. Laju deforestasi di Indonesia menurut perkiraan World Bank antara 700.000 sampai 1.200.000 ha per tahun, dimana deforestasi oleh peladang berpindah ditaksir mencapai separuhnya. Namun World Bank mengakui bahwa taksiran laju deforestasi didasarkan pada data yang lemah. Sedangkan menurut FAO, menyebutkan laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar satu persen (1%). Berbagai LSM peduli lingkungan mengungkapkan kerusakan hutan mencapai 1.600.000 – 2.000.000 ha per tahun dan lebih tinggi lagi data yang diungkapkan oleh Greenpeace, bahwa kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3.800.000 ha per tahun yang sebagian besar adalah penebangan liar atau illegal logging. Sedangkan ada ahli kehutanan yang mengungkapkan laju kerusakan hutan di Indonesia adalah 1.080.000 ha per tahun

 .

 

Lahan Sawit.
Perambahan hutan yang tak terkendali untuk perkebunan sawit dituding sebagai penyebab nomor satu deforestasi. Pemerintah daerah dengan gampangnya memberikan konsesi sawit ke para pengusaha. Akibatnya deforestasi Indonesia tidak terbendung lagi.
Mengapa tanaman ini sangat dimusuhi oleh para aktivis lingkungan hidup dan dijuluki “tanaman bengis”? Salah satu alasan utama yang tidak diketahui orang banyak adalah fakta bahwa sawit sangat rakus air. Sawit menyedot air dalam jumlah yang sangat besar hingga ke dalam tanah. Ketika 1 wilayah sudah dijadikan perkebunan sawit, maka wilayah tersebut sangat sulit untuk ditanami kembali oleh tanaman lain. Tanah yang sudah ditanami oleh kelapa sawit menjadi kehilangan unsur hara sehingga ekosistem di sekitarnya menjadi rusak dan tak seimbang lagi. Selain hal ini, timbul banyak masalah turunan lain dari komoditas nomor 1 di Indonesia ini.
Perkebunan sawit tidak pantas disebut hutan. Biar bagaimana pun ekosistem yang heterogen tidak mungkin bisa digantikan dengan ekosistem yang homogen. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, kerugian negara akibat kerusakan hutan mencapai Rp 180 triliun. Apakah 180 triliun ini sebanding dengan ekspor sawit kita? Tentu tidak. Uang bisa dicari namun hutan yang hilang serta satwa yang punah tidak mungkin bisa dikembalikan lagi. Sesal kemudian tidak berguna.
Orang Utan Dianggap Hama Sawit
Selamat datang perkebunan sawit, selamat tinggal orang utan! Itulah harga yang harus dibayar untuk industri sawit ini. Perluasan lahan sawit mau tidak mau merusak habitat orang utan, beruang dan harimau. Tidak tanggung-tanggung, orang utan bisa tiba-tiba masuk ke rumah penduduk untuk mencuri nasi. Hal ini mereka lakukan karena memang sudah tidak ada makanan lagi karena hutan mereka sudah dirusak.
Beruang dan harimau juga sudah kehilanggan tempat tinggalnya, akhirnya penduduk sipil merasa jiwanya terancam dari hari ke hari. Orang utan pun dibantai secara keji atas perintah para pengusaha sawit. Satu ekor orang utan dihargai 500 ribu sampai 1 juta rupiah oleh pengusaha sawit. Padahal tidak ada maksud orang utan dan satwa liar lainnya mengganggu perkebunan sawit serta rumah penduduk. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Manusia telah menjadi monster bagi alam, tahun 2011 saja Washington Post mencatat 750 orang utan terbunuh di Kalimantan. Padahal orang utan adalah satwa endemik Indonesia dan satu-satunya habitat asli mereka adalah Indonesia.
Bank Dunia sendiri sangat serius menanggapi isu deforestasi Indonesia. Bank Dunia sempat menghentikan pendanaan bagi perusahaan-perusahaan kelapa sawit pada September 2009 akibat perusakan lingkungan yang sangat parah di hutan Sumatra dan Kalimantan. Lembaga swadaya internasional Greenpeace dan World Wildlife Foundation (WWF) juga ikut menyerang industri kelapa sawit dengan menyebut Palm oil: enemy number one of Indonesia’s tropical rainforests.
50% Lahan Sawit Indonesia Dikuasai Asing
Untuk siapakah sawit Indonesia? Walhi mencatat bahwa saat ini 50% lahan sawit Indonesia telah dikuasai asing dengan Malaysia sebagai pemiliki mayoritas, sebesar 26%. Konglomerasi Malaysia, Sime Darby (perusahaan sawit terbesar di dunia), sampai saat ini sudah mengantongi konsesi sawit sekitar 300.000 hektar melalui Minamas Plantation. Dengan dukungan modal yang kuat serta teknologi yang lebih canggih akibatnya banyak perusahaan sawit Indonesia yang tidak bisa bersaing. Jadi sudah jelas bahwa keuntungan bisnis sawit Indonesia justru banyak dinikmati oleh asing. Dengan kepemilikan asing sebesar 50%, kondisi Indonesia sekarang jauh lebih parah daripada masa tanam paksa (cultuurstelsel) penjajahan Hindia Belanda, yang hanya mewajibkan 20% lahan petani untuk ditanami tanaman perdagangan. Bukankah ini sangat tragis? Tanah Indonesia hanya dijadikan sapi perahan dan disedot habis-habisan air tanahnya demi perkebunan sawit.








Kasus Mesuji - Pembantaian 30 Warga oleh Perusahaan Sawit
Pantaslah jika bisnis sawit disebut sebagai bisnis paling kontroversial di Indonesia. Inilah satu-satunya bisnis di Indonesia yang dibangun di atas tangisan, darah dan air mata rakyat kecil! Tidak hanya orang utan yang dibantai demi bisnis sawit, tapi juga termasuk manusia! Pembantaian dan kekerasan sadis di Lampung tega dilakukan oleh PT Silva Inhutani, milik warga negara Malaysia bernama Benny Sutanto alias Abeng, demi melakukan perluasan lahan sawit. Penduduk setempat yang tadinya menanam sengon dan albasia menolak keras ekspansi lahan perusahaan ini. Akhirnya PT Silva Inhutani membentuk PAM Swakarsa yang juga dibekingi aparat kepolisian untuk mengusir penduduk. Pasca adanya PAM Swakarsa terjadilah beberapa pembantaian sadis dari tahun 2009 hingga 2011. Kurang lebih 30 orang sudah menjadi korban pembantaian sadis dengan cara ditembak, disembelih dan disayat-sayat. Sementara ratusan orang mengalami luka-luka dan diantara mereka ada yang mengalami trauma dan stres berat. Kesadisan yang dilakukan atas nama bisnis sawit ini mengingatkan kita kembali pada film G30S/PKI. Ironisnya, aparat kepolisian kita yang seharusnya bisa melindungi dan mengayomi kepentingan masyarakat sipil justru mau menjadi kaki tangan pengusaha Malaysia.
 
 
Belum cukupkah semua ini?



Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar